Sejarah pertumbuhan koperasi di seluruh dunia disebabkan oleh tidak dapat dipecahkannya masalah kemiskinan atas dasar semangat individualisme. Koperasi lahir sebagai alat untuk memperbaiki kepincangan-kepincangan dan kelemahan-kelemahan dari perekonomian yang kapitalistis (Team UGM, 1984 h. 11). Koperasi yang lahir pertama di Inggris (1844) berusaha mengatasi masalah keperluan konsumsi para anggotanya dengan cara kebersamaan yang dilandasi atas dasar prinsip-prinsip keadilan yang selanjutnya menelorkan prinsip-prinsip keadilan yang dikenal dengan “Rochdale Principles”. Dalam waktu yang hampir bersamaan di Prancis lahir koperasi yang bergerak di bidang produksi dan di Jerman lahir koperasi yang bergerak di bidang simpan-pinjam. Sejalan dengan pengertian asal kata koperasi dari “Co” dan “Operation” mempunyai arti bersama-sama bekerja, Koperasi berusaha untuk mencapai tujuan serta kemanfaatan bersama. Guna memperoleh pengertian yang lebih lengkap tentang koperasi, ILO di dalam penerbitannya tentang “Cooperative Management and Aministration” (1965, h. 5) ……..Cooperative is an association of person, usually of limited means, who have voluntarily joined together to achieve a common economic and through the formation of a democratically controlled business organization, making efuitable contrtobution to the capital required and accepting a fair share of the risk and benefits of the undertaking. Dari definisi tersebut, koperasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a) merupakan perkumpulan orang-orang (association of person);
b) bergabung secara sukarela (have voluntarily joined together);
c) untuk mencapai tujuan ekonomi bersama (to achieve a common economic end);
d) organisasi perusahaan yang dikendalikan secara demokratis (democratically controlled business organization);
e) kontribusi yang adil terhadap modal yang diperlukan (equitable contribution to the capital required);
f) menanggung resiko dan menerima bagian keuntungan secara adil (a fair share of the risk and benefits of the undertaking).
Dalam perjalanan sejarah sampai dengan sekarang, pengertian koperasi telah berkembang yang dapat disoroti dari berbagai aspek :
a) koperasi sebagai organisasi ekonomi sebagaimana juga pelaku-pelaku ekonomi yang lain harus memperhitungkan produktivitas, efisiensi serta efektifitas;
b) koperasi sebagai suatu gerakan yang mempersatukan kepentingan yang sama guna diperjuangkannya secara bersama-sama secara serempak dan lebih baik, sehingga dimungkinkannya ditempatkan semacam perwakilan;
c) segi sosial dan moral yang dianggap mewarnai kehidupan koperasi yang di dalam kegiatannya harus mempertimbangkan norma-norma sosial ataupun moral yang berlaku di mana koperasi melakukan kegiatannya;
d) sementara pihak ingin mengembangkan koperasi sebagai suatu sistim ekonomi, di mana pandangan ini dilandasi oleh semangat cooperativism;
e) di dalam suatu kajian ilmiah, koperasi telah dikembangkan pula sebagai suatu ilmu yang dilandasi atas filsafat dan tujuan ilmu pengetahuan;
Dengan perkembangan pengertian koperasi sebagaimana dikemukakan tersebut, dapatlah ditarik suatu pengertian bahwa koperasi memiliki pengertian yang dinamik. Sedangkan di sisi lain koperasi sebagai organisasi ekonomi mempedomani sendi-sendi dasarnya (principles) yang membedakan terhadap organisasi ekonomi yang lain.
AWAL PERTUMBUHAN KOPERASI INDONESIA
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dimulai sejak tahun 1896 (Ahmed 1964, h. 57) yang selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang naik dan turun dengan titik berat lingkup kegiatan usaha secara menyeluruh yang berbeda-beda dari waktu ke waktu sesuai dengan iklim lingkungannya. Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam (Soedjono 1983, h.7) maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi. Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya (Masngudi 1989, h. 1-2).
Pertumbuhan koperasi di Indonesia dipelopori oleh R. Aria Wiriatmadja patih di Purwokerto (1896), mendirikan koperasi yang bergerak dibidang simpanpinjam. Untuk memodali koperasi simpan- pinjam tersebut di samping banyak menggunakan uangnya sendiri, beliau juga menggunakan kas mesjid yang dipegangnya (Djojohadikoesoemo, 1940, h 9). Setelah beliau mengetahui bahwa hal tersebut tidak boleh, maka uang kas mesjid telah dikembalikan secara utuh pada posisi yang sebenarnya. Kegiatan R Aria Wiriatmadja dikembangkan lebih lanjut oleh De Wolf Van Westerrode asisten Residen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ketika ia cuti ke Eropa dipelajarinya cara kerja wolksbank secara Raiffeisen (koperasi simpan-pinjam untuk kaum tani) dan Schulze-Delitzsch (koperasi simpan-pinjam untuk kaum buruh di kota) di Jerman. Setelah ia kembali dari cuti melailah ia mengembangkan koperasi simpan-pinjam sebagaimana telah dirintis oleh R. Aria Wiriatmadja. Dalam hubungan ini kegiatan simpanpinjam yang dapat berkembang ialah model koperasi simpan-pinjam lumbung dan modal untuk itu diambil dari zakat. Selanjutnya Boedi Oetomo yang didirikan pada tahun 1908 menganjurkan berdirinya koperasi untuk keperluan rumah tangga.
Demikian pula Sarikat Islam yang didirikan tahun 1911 juga mengembangkan koperasi yang bergerak di bidang keperluan sehari-hari dengan cara membuka tokotoko koperasi. Perkembangan yang pesat dibidang perkoperasian di Indonesia yang menyatu dengan kekuatan social dan politik menimbulkan kecurigaan Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya Pemerintah Hindia Belanda ingin mengaturnya tetapi dalam kenyataan lebih cenderung menjadi suatu penghalang atau penghambat perkembangan koperasi. Dalam hubungan ini pada tahun 1915 diterbitkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisi antara lain :
a) Akte pendirian koperasi dibuat secara notariil;
b) Akte pendirian harus dibuat dalam Bahasa Belanda;
c) Harus mendapat ijin dari Gubernur Jenderal; dan di samping itu diperlukan biaya meterai f 50.
Berbagai ketentuan dan persyaratan sebagaimana dalam ketetapan Raja no 431/1915 tersebut dirasakan sangat memberatkan persyaratan berdiriya koperasi. Dengan demikian praktis peraturan tersebut dapat dipandang sebagai suatu penghalang bagi pertumbuhan koperasi di Indonesia, yang mengundang berbagai reaksi. Oleh karenanya maka pada tahun 1920 dibentuk suatu ‘Komisi Koperasi’ yang dipimpin oleh DR. J.H. Boeke yang diberi tugas neneliti sampai sejauh mana keperluan penduduk Bumi Putera untuk berkoperasi. Hasil dari penelitian menyatakan tentang perlunya penduduk Bumi putera berkoperasi dan untuk mendorong keperluan rakyat yang bersangkutan. Selanjutnya didirikanlah Bank Rakyat (Volkscredit Wezen).
Berkaitan dengan masalah Peraturan Perkoperasian, maka pada tahun 1927 di Surabaya didirikan “Indonsische Studieclub” Oleh dokter Soetomo yang juga pendiri Boedi Oetomo, dan melalui organisasi tersebut beliau menganjurkan berdirinya koperasi. Kegiatan serupa juga dilakukan oleh Partai Nasional Indonesia di bawah pimpimnan Ir. Soekarno, di mana pada tahun 1929 menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi. Keputusan kongres koperasi tersebt menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemakmuran penduduk Bumi Putera harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Untuk menggiatkan pertumbuhan koperasi, pada akhir tahun 1930 didirikan Jawatan Koperasi dengan tugas:
a) memberikan penerangan kepada pengusaha-pengusaha Indonesia mengenai seluk beluk perdagangan;
b) dalam rangka peraturan koerasi No 91, melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap koperasi-koperasi, serta memberikan penerangannya;
c) memberikan keterangan-keterangan tentang perdagangan pengangkutan, cara-cara perkreditan dan hal ihwal lainnya yang menyangkut perusahaan-perusahaan;
d) penerangan tentang organisasi perusahaan;
e) menyiapkan tindakan-tindakan hukum bagi pengusaha Indonesia (Raka.1981,h.42)
DR. J.H. Boeke yang dulunya memimpin “Komisi Koperasi” 1920 ditunjuk sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama. Selanjutnya pada tahun 1933 diterbitkan Peraturan Perkoperasian dalam berntuk Gouvernmentsbesluit no.21 yang termuat di dalam Staatsblad no. 108/1933 yang menggantikan Koninklijke Besluit no. 431 tahun 1915. Peraturan Perkoperasian 1933 ini diperuntukkan bagi orang-orang Eropa dan golongan Timur Asing. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan Perkopersian, yakni Peraturan Perkoperasian tahun 1927 yang diperuntukan bagi golongan Bumi Putera dan Peraturan Perkoperasian tahun 1933 yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur Asing.
Pada masa pendudukan bala tentara Jepang istilah koperasi lebih dikenal menjadi istilah “Kumiai”. Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia menetapkan bahwa semua Badan-badan Pemerintahan dan kekuasaan hukum serta Undang-undang dari Pemerintah yang terdahulu tetap diakui sementara waktu, asal saja tidak bertentangandengan Peraturan Pemerintah Militer. Berdasarkan atas ketentuan tersebut, maka Peraturan Perkoperasian tahun 1927 masih tetap berlaku. Akan tetapi berdasarkan Undang-undang No. 23 dari Pemerintahan bala tentara Jepang di Indonesia mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penmyelenggaraan persidangan. Sebagai akibat daripada peraturan tersebut , maka jikalau masyarat ingin mendirikan suatu perkumpulan koperasi harus mendapat izin Residen (Shuchokan) dengan menjelaskan syarat-syarat sebagai berikut :
a) Maksud perkumpulan atau persidangan, baik sifat maupun aturan-aturannya;
b) Tempat dan tanggal perkumpulan didirikan atau persidangan diadakan ;
c) Nama orang yang bertangguing jawab, kepengurusan dan anggota-anggotanya;
d) Sumpah bahwa perkumpulan atau persidangan yang bersangkutan itu sekali-kali bukan pergerakan politik.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka di beberapa daerah banyak koperasi lama yang harus menghentikan usahanya dan tidak boleh bekerja lagi sebelum mendapat izin baru dari”Scuchokan”. Undang-undang ini pada hakekatnya bermaksud mengawasi perkumpulan-perkumpulan dari segi kepolisian (Team UGM 1984, h. 139 – 140).
Perkembangan Pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang dikarenakan masalah ekonomi yang semakin sulit memerlukan peran “Kumiai” (koperasi). Pemerintah pada waktu itu melalui kebijaksanaan dari atas menganjurkan berdirinya “Kumiai” di desa-desa yang tujuannya untuk melakukan kegiatan distribusi barang yang jumlahnya semakin hari semakin kurang karena situasi perang dan tekanan ekonomi Internasional (misalnya gula pasir, minyak tanah, beras, rokok dan sebagainya). Di lain pihak Pemerintah pendudukan bala tentara Jepang memerlukan barang-barang yang dinilai penting untuk dikirim ke Jepang (misalnya biji jarak, hasil-hasil bumi yang lain, besi tua dan sebagainya) yang untuk itu masyarakat agar menyetorkannya melalui “Kumiai”. Kumiai (koperasi) dijadikan alat kebijaksanaan dari Pemerintah bala tentara Jepang sejalan dengan kepentingannya. Peranan koperasi sebagaimana dilaksanakan pada zaman pemerintahan pendudukan bala tentara Jepang tersebut sangat merugikan bagi para anggota dan masyarakat pada umumnya.
PERTUMBUHAN KOPERASI SETELAH KEMERDEKAAN
Gerakan koperasi di Indonesia yang lahir pada akhir abad 19 dalam suasana sebagai Negara jajahan tidak memiliki suatu iklim yang menguntungkan bagi pertumbuhannya. Baru kemudian setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 1945. DR. H. Moh Hatta sebagai salah seorang “Founding Father” Republik Indonesia, berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam “konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi.
Di dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta. Pada akhir 1946, Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran koperasi dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
Pada tahun 1949 diterbitkan Peraturan Perkoperasian yang dimuat di dalam Staatsblad No. 179. Peraturan ini dikeluarkan pada waktu Pemerintah Federal Belanda menguasai sebagian wilayah Indonesia yang isinya hampir sama dengan Peraturan Koperasi yang dimuat di dalam Staatsblad No. 91 tahun 1927, dimana ketentuan-ketentuannya sudah kurang sesuai dengan keadaan Inidonesia sehingga tidak memberikan dampak yang berarti bagi perkembangan koperasi. Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1950 program Pemerintah semakin nyata keinginannya untuk mengembangkan perkoperasian.Kabinet Mohammad Natsir menjelaskan di muka Dewan Perwakilan Rakyat yang berkaitan dengan program perekonomian antara lain sebagai berikut : “Menggiatkan pembangunan organisasi-organisasi rakyat , istimewa koperasi dengan cara pendidikan, penerangan, pemberian kredit yang lebih banyak dan lebih mudah, satu dan lain seimbang dengan kemampuan keuangan Negara”. Untuk memperbaiki perekonomian-perekonomian rakyat Kabinet Wilopo antara lain mengajukan suatu “program koperasi” yang terdiri dari tiga bagian, yaitu :
a) Usaha untuk menciptakan suasana dan keadaan sebaik-baiknya bagi perkembangan gerakan koperasi;
b) Usaha lanjutan dari perkembangan gerakan koperasi;
c) Usaha yang mengurus perusahaan rakyat yang dapat diselenggarakan atas dasar koperasi.
PERKEMBANGAN KOPERASI DALAM SISTEM EKONOMI TERPIMPIN
Pada tanggal 17 Agustus 1959 Presiden Soekarno mengucapkan pidato kenegaraan yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, atau lebih dikenal dengan Manifesto politik (Manipol). Dalam pidato itu diuraikan berbagai persoalan pokok dan program umum Revolusi Indonesia yang bersifat menyeluruh. Berdasarkan Ketetapan MPRS No. 1/MPRS/1960 pidato itu ditetapkan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara RI dan pedoman resmi dalam perjuangan menyelesaikan revolusi. Dampak Dekrit Presiden dan Manipol terhadap Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi adalah
undang-undang yang belum berumur panjang itu telah kehilangan dasar dan tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol. Karenanya untuk mengatasi keadaan itu maka di samping Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 1907).
Peratuarn ini dibuat sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi dan merupakan penyempurnaan dari hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang tersebut. Peraturan itu membawa konsep pengembangan koperasi secara massal dan seragam dan dikeluarkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a) Menyesuaikan fungsi koperasi dengan jiwa dan semangat UUD 1945dan Manipol RI tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi diberi peranan sedemikian rupa sehingga kegiatan dan penyelenggaraannya benar-benar dapat merupakan alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia, sendi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia dan dasar untuk mengatur perekonomian rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan masyarakat adil dan makmur yang demokratis;
b) Bahwa pemerintah wajib mengambil sikap yang aktif dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas demokrasi terpimpin, yaitu menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan Gerakan Koperasi, dan;
c) Bahwa dengan menyerahkan penyelenggaraan koperasi kepada inisiatif Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang bukan saja tidakk mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalism, tetapi juga tidak menjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya (Sularso 1988, h. VI-VII).
Dalam tahun 1960 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan Koperasi untuk melaksanakannya. Dengan peraturan ini maka mulai ditumbuhkan koperasi-koperasi konsumsi. Penumbuhan koperasi oleh Pemerintah secara missal dan seragam tanpa memperhatikan syarat-syarat pertumbuhannya yang sehat, telah mengakibatkan pertumbuhan koperasi yang kurang sehat. Lebih jauh dari itu Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 menetapkan bahwa sector perekonomian akan diatur dengan dua sektor yakni sector Negara dan sector koperasi, dimana sector swasta hanya ditugaskan untuk membantu. Pada saat mulai dikemukakan ide pengaturan ekonomi dengan prinsip Demokrasi dan Ekoomi Terpimpin. Undang-undang No. 79 tahun 1958 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi. Peraturan ini membawa konsep pengembangan koperasi secara massal dan seragam.
Sebagai puncak pengukuhan hukum dari uapaya mempolitikkan (verpolitisering) koperasi dalam suasana demokrasi terpimpin yakni di terbitkannya UU No.14 tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat didalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1960. Salah satu pasal yang terpenting adalah pasal 5 yang berbunyi : “Koperasi, struktur, aktivitas dan alat pembinaan serta alat perlengkapan organisasi koperasi, mencerminkan kegotong-royongan
progresif revolusioner berporoskan Nasakom (Nasional, Agama, Komunis)”. Dalam memori penjelasannya dinyatakan sebagai berikut : “Sesuai dengan penjelasan umum perkoperasian (pola koperasi) tidak dapat dipisahkan dari masalah Revolusi pada umumnya (doktrin Revolusi), sehingga tantangan-tantangan dari gerakan koperasi hakekatnya merupakan tantangan daripada Revolusi itu sendiri”.
Selanjutnya peranan gerakan koperasi dalam demokrasi terpimpin dan ekonomi terpimpin diatur didalam pasal 6 dan pasal 7. Pasal 6 berbunyi sebagai berikut : “ Gerakan Koperasi mempunyai peranan :
a) Dalam tahap nasional demokrasis :
a. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen kecil yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;
b. Ikut serta menghapus sisa-sisa imperalisme, kolonialisme dan feodalisme;
c. Membantu memperkuat sector ekonomi Negara yang memegang posisi memimpin;
d. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat sosialis Indonesia.
b) Dalam Tahap sosialisme Indonesia :
a. Menyelenggarakan tata ekonomi tanpa adanya penghisapan oleh manusia atas manusia;
b. Meningkatkan tingkat hidup rakyat jasmaniah dan rokhaniah;
c. Membina dan mengembangkan swadaya dan daya kreatif rakyat sebagai perwujudan masyarakat gotong-royong.”
PERKEMBANGAN KOPERASI PERIKANAN
Berdasarkan PP 60 tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi bahwa perlu menyesuaikan fungsi koperasi sebagaimana dalam pokok-pokoknya diatur dalam Undang-undang Koperasi dengan jiwa semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959, dimana koperasi harus diberi peranan sedemikian rupa sehingga gerakan serta penyelenggaraannya benar-benar dapat merupakan:
a) alat untuk melaksanakan ekonomi terpimpin berdasarkan sosialisme ala Indonesia;
b) sendi kehidupan ekonomi bangsa Indonesia,
c) dasar untuk mengatur perekonomian rakyat guna mencapai taraf hidup yang layak dalam susunan masyarakat adil dan makmur yang demokratis,
Pemerintah wajib mengambil sikap yang aktip dalam membina Gerakan Koperasi berdasarkan azas-azas Demokrasi Terpimpin dan perlu diadakan Peraturan Pemerintah untuk menyesuaikan pelaksanaan Undang-undang Koperasi dengan Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959, untuk menumbuhkan, mendorong, membimbing, melindungi dan mengawasi perkembangan Gerakan Koperasi; sehingga terjamin, terpelihara dan terpupuknya dinamika baik dikalangan masyarakat sendiri maupun dalam kalangan petugas negara, serta terselenggaranya koperasi secara serentak, intensip, berencana dan terpimpin.
Berdasarkan PP 60 tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi bagian II tentang penjenisan koperasi yang merupakan pembedaan koperasi yang didasarkan pada golongan dan fungsi ekonomi. Dalam peraturan ini dasar penjenisan koperasi ditekankan pada lapangan usaha dan tempat tinggal para anggota sesuatu koperasi. Pada pasal 3 peraturan ini mengutamakan diadakannya jenis-jenis koperasi sebagai berikut:
a) Koperasi Desa
b) Koperasi Pertanian
c) Koperasi Peternakan
d) Koperasi Perikanan
e) Koperasi Kerajinan/Industri
f) Koperasi Simpanan Pinjam
Yang dimaksud Koperasi Perikanan ialah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari pengusaha-pengusaha pemilik alat perikanan, buruh/nelayan yang kepentingan serta mata pencahariannya langsung berhubungan dengan usaha perikanan yang bersangkutan dan menjalankan usaha-usaha yang ada sangkut-pautnya secara langsung dengan usaha perikanan mulai dari produksi, pengolahan sampai pada pembelian atau penjualan bersama hasil-hasil usaha perikanan yang bersangkutan.
Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945 perlu segera menyesuaikan kebijaksanaan Pemerintah dalam melaksanakan Undang-undang Koperasi dengan jiwa dari pada Undang-undang Dasar tersebut serta cita-cita yang terkandung dalam Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Pemerintah menyadari bahwa Undang-undang Koperasi yang berlaku sekarang perlu disempurnakan, namun perkembangan masyarakat pada umumnya dan Gerakan Koperasi pada khususnya sedemikian pesatnya sehingga Pemerintah perlu mengambil tindakan-tindakan yang cepat agar pelaksanaan Undang-undang Koperasi dapat berjalan sesuai dengan haluan Pemerintah. Sesuai dengan jiwa pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, maka koperasi mengambil peranan yang penting sekali sebagai dasar utama untuk mengatur perekonomian rakyat dan selain dari pada itu, Pemerintah memberikan peranan sedemikian rupa sehingga koperasi benar-benar dapat merupakan alat untuk melenyapkan kapitalisme dari bumi dan kehidupan bangsa Indonesia. Dengan menyerahkan saja penyelenggaraan koperasi kepada inisiatip Gerakan Koperasi sendiri dalam taraf sekarang ini bukan tidak mencapai tujuan untuk membendung arus kapitalisme dan liberalisme tetapi juga tidak terjamin bentuk organisasi dan cara bekerja yang sehat sesuai dengan azas-azas koperasi yang sebenarnya. Kemajuan-kemajuan yang terlihat didalam statistik tentang angka-angka dan jumlah anggota koperasi, jumlah modal dan sebagainya pada hakekatnya masih terlalu pagi untuk dibanggakan, bila kita lihat kenyataan-kenyataan yang kita hadapi dalam praktek sehari-hari.
Gerakan Koperasi dalam taraf perkembangan sekarang ini jauh belum dapat memenuhi fungsi yang sebenarnya sebagaimana dimaksud didalam pasal 33 Undang-undang 1945 bahkan menunjukkan gejala-gejala yang mempunyai kecenderungan kearah kemerosotan fungsi koperasi dan penyalah-gunaan bentuk usaha koperasi untuk mencari keuntungan bagi segelintir manusia sehingga kepercayaan rakyat terutama didesa-desa semakin lama semakin berkurang terhadap koperasi. Untuk mencegah berlarut-larutnya keadaan. Pemerintah perlu segera mengambil tindakan cepat yang sejauh mungkin berpedoman pada ketentuan-ketentuan didalam Undang-undang Koperasi sepanjang ketentuan-ketentuan tersebut tidak bertentangan dengan jiwa serta semangat Undang-undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Presiden Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959. Berhubung dengan mendesaknya waktu, dalam Peraturan Pemerintah ini belum diatur seluruh materi dari pada Undang-undang Koperasi dan persoalan-persoalan yang timbul dalam praktek dan hanya membatasi pada persoalan-persoalan yang dianggap penting dan mendesak untuk diatur oleh Pemerintah. Untuk menampung persoalan-persoalan yang belum diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. Pemerintah akan mengeluarkan Peraturan-peraturan berikutnya sebagai kelanjutan dari Peraturan Pemerintah ini. Yang menjadi pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam Peraturan ini ialah sebagai berikut :
a) Azas-azas koperasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Koperasi perlu diberikan jaminan akan ralisasinya didalam raan koperasi.
b) Sikap yang aktip dari Pemerintah,
c) Unsur-unsur demokrasi serta ekonomi terpimpin harus jelas terlihat dalam penyelenggaraan tiap-tiap koperasi.
d) Segenap instansi Pemerintah diikut-sertakan dalam membimbing Gerakan Koperasi menurut bidangnya masing-masing.
e) Terutama dalam lapangan-lapangan usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak dan didaerah-daerah bekerja yang merupakan basis perekonomian rakyat diusahakan berdirinya atau ditumbuhkan koperasi oleh Pemerintah bersama-sama dengan rakyat yang bersangkutan.
Dalam pasal tersebut sengaja tidak dipergunakan istilah tidak merupakan konsentrasi modal sebagaimana digunakan dalam perumusan Undang-undang Koperasi untuk mengundang kesulitan didalam menafsirkannya sedang istilah yang dipergunakan ialah "bukan perkumpulan modal" untuk maksud yang sama. Istilah bukan perkumpulan modal diambil dari penjelasan Undang-undang Koperasi dipadang oleh Pemerintah lebih jelas dan tidak mengandung asosiasi pikiran bahwa koperasi telah menganut sesuatu paham golongan dengan tidak mengurangi ketegasan dari pendapat Pemerintah yang berpangkal haluan pada dasar pikiran bahwa koperasi adalah alat utama untuk melenyapkan kapitalisme baik sistimnya maupun ekses-eksesnya.
Mengingat pentingnya peranan koperasi dalam pelaksanaan demokrasi serta ekonomi terpimpin maka harus ada jaminan supaya didalam tubuh organisasi koperasi terdapat kebersihan serta kejujuran dari pada pelaksana-pelaksananya. Untuk ini kecuali kewajiban melaksanakan atas azas koperasi yang dibebankan pada para anggota maka masyarakat didaerah yang bersagkutan perlu memberikan bantuannya. Sesuai dengan sikap Pemerintah yang aktip maka azas keanggotaan koperasi atas dasar suka-rela perlu dijaga agar azas tersebut tidak merupakan pangkal untuk menyelewengkan haluan penyelengggaraan koperasi kearah sistim kapitalisme dan liberalisme. Juga azas gotong-royong mewajibkan semua golongan yang mempunyai peranan dalam proses produksi tertampung atau dapat dimasukkan dalam keanggotaan koperasi.
Oleh karena itu selain ketentuan bahwa yang dapat menjadi anggota sesuai koperasi ialah orang-orang yang mempunyai kepentingan yang sama perlu ditambahkan ketentuan bahwa juga orang-orang yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang satu sama lain ada sangkut-pautnya secara langsung (allied interest) dapat pula menjadi anggota sesuatu koperasi. Dengan demikian dogma pertentangan buruh majikan yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia bisa dihindarkan didalam perkumpulan koperasi.
Penjenisan koperasi didasarkan pda golongan serta fungsi ekonomi. akan tetapi untuk memudahkan bagi rakyat penjenisan koperasi menurut peraturan ini ditekankan pada lapangan usaha serta tempat tinggal anggota.. Dengan demikian walapun Peraturan ini didasarkan pada lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggota dengan ketentuan ayat tersebut terbuka kemungkinan bagi masyrakat untuk mengadakan jenis-jenis koperasi yang berdasarkan golongan serta fungsi ekonomi.
Berdasarkan UU No 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan tentang salah satu usaha untuk menuju kearah perwujudan masyarakat sosialis Indonesia pada umumnya, khususnya untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta memperbesar produksi ikan, maka pengusahaan perikanan secara bagi-hasil, baik perikanan laut maupun perikanan darat, harus diatur hingga dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan dan semua fihak yang turut serta masing-masing mendapat bagian yang adil dari usaha itu, juga perbaikan daripada syarat-syarat perjanjian bagi-hasil sebagai yang dimaksudkan diatas perlu pula lebih dipergiat usaha pembentukan koperasi-koperasi perikanan, yang anggota-anggotanya terdiri dari semua orang yang turut serta dalam usaha perikanan itu.
Sebagai salah satu usaha menuju ke arah terwujudnya masyarakat sosialis Indonesia pada umumnya sebenarnya untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta memperbesar produksi ikan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara di dalam Ketetapan No. II./MPRS/1960 dan Resolusinya No. I/MPRS/1963 memerintahkan supaya diadakan Undang- undang yang mengatur soal usaha perikanan yang diselenggarakan dengan perjanjian bagi hasil. Undang-undang ini merupakan realisasi daripada perintah M.P.R.S. tersebut. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 12 ayat 1 Undang- undang Pokok Agraria segala usaha bersama dalam lapangan agraria jadi termasuk juga usaha perikanan, baik perikanan laut maupun perikanan darat haruslah diselenggarakan berdasarkan kepentingan bersama dari semua fihak yang turut serta, yaitu baik nelayan pemilik dan pemilik tambak yang menyediakan kapal/perahu, alat-alat penangkapan ikan dan tambak maupun para nelayan penggarap dan penggarap tambak yang menyumbangkan tenaganya, hingga mereka masing-masing menerima bagian yang adil dari hasil usaha tersebut.
Pengusahaan perikanan atas dasar bagi hasil dewasa ini adalah diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan hukum adat setempat yang menurut ukuran sosialisme Indonesia belum memberikan dan menjadi bagian yang layak bagi para nelayan penggarap dan penggarap tambak. Berhubung dengan itu maka pertama-tama perlu diadakan ketentuan untuk menghilangkan unsur-unsur perjanjian bagi hasil yang bersifat pemerasan,hingga dengan demikian semua pihak yang turut serta dalam usaha itu mendapat bagian yang sesuai dengan jasa yang disumbangkannya. Dengan memberikan jaminan yang sedemikian itu maka di samping perbaikan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak yang bersangkutan. diharapkan pula timbulnya perangsang yang lebih besar di dalam meningkatkan produksi ikan. Dalam pada itu hal tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan dari pada pemilik kapal/perahu, alat-alat penangkapan ikan dan tambak akan diabaikan.Usaha perikanan, terutama perikanan laut, memerlukan pemakaian alat-alat yang memerlukan biaya pemeliharaan serta perbaikan dan yang pada waktunya bahkan harus diganti dengan yang baru. Menetapkan imbangan bagian yang terlalu kecil bagi golongan pemilik biasa berakibat, bahwa soal pemeliharaan dan perbaikan serta penggantian alat-alat tersebut akan kurang mendapat perhatian atau diabaikan sama sekali. Hal yang demikian pula berpengaruh tidak baik terhadap produksi ikan pada umumnya. Berhubung dengan itu para pemilik tersebut harus pula mendapat bagian yang layak, dengan pengertian, bahwa dengan demikian ia berkewajiban pula untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perbaikan sebagaimana mestinya.
Dalam pada itu perbaikan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak tidak akan dapat tercapai hanya dengan memperbaiki syarat-syarat perjanjian bagi hasil saja. Untuk itu usaha pembentukan koperasi-koperasi perikanan perlu dipergiat dan lapangan usaha serta keanggotaannya perlu pula diperluas. Keanggotaan koperasi tersebut harus meliputi semua orang yang turut dalam usaha perikanan itu, jadi baik para nelayan penggarap, penggarap tambak, buruh perikanan maupun nelayan pemilik dan pemilik tambak. Lapangan usaha koperasi perikanan hendaknya tidak terbatas pada soal produksi saja, misalnya pembelian kapal-kapal/perahu- perahu dan alat-alat penangkapan ikan, pengolahan hasil ikan serta pemasarannya, tetapi harus juga meliputi soal kredit serta hal-hal yang menyangkut kesejahteraan para anggota dan keluarganya. Misalnya usaha untuk mencukupi keperluan sehari-hari, menyelenggarakan kecelakaan, kematian dan lain-lainnya. Dengan demikian maka mereka itu dapatlah dlepaskan dan dihindarkan dari praktek-praktek para pelepas uang. tengkulak dan lain-lainnya, yang dewasa ini sangat merajalela dikalangan usaha perikanan, terutama perikanan laut.
Menurut hukum adat yang berlaku sekarang ini tidak terdapat keseragaman mengenai imbangan besarnya bagian pemilik pada satu pihak dan para nelayan penggarap serta penggarap tambak pada lain fihak. Perbedaan itu disebabkan selain oleh imbangan antara banyaknya nelayan penggarap dan penggarap tambak pada satu fihak serta kapal/perahu, dan tambak akan dibagi hasilkan pada lain fihak, juga oleh rupa-rupa faktor lainnya Diantaranya ialah penentuan tentang biaya-biaya apa saja menjadi beban bersama dan apa yang dipikul oleh mereka masing-masing. Mengenai perikanan darat di tambak letak, luas keadaan kesuburan tambaknya serta jenis ikan yang dihasilkan merupakan faktor pula yang menentukan imbangan bagian yang dimaksudkan itu. Jika tambaknya subur, maka bagian pemiliknya lebih besar dari pada bagian pemilik tambak yang kurang subur. Mengenai perikanan laut, macam kapal,,perahu dan alat-alat serta cara-cara penangkapan yang dipergunakan merupakan pula faktor yang turut menentukan besarnya imbangan itu. Bagian seorang pemilik kapal motor misalnya, adalah lebih besar imbangan persentasinya. jika dibandingkan dengan bagian seorang pemilik perahu layar. Hal itu disebabkan karena biaya eksploitasi yang harus dikeluarkan oleh pemilik motor itu lebih besar, lagipula hasil penangkapan seluruhnya lebih besar, hingga biarpun imbangan persentasi bagi para nelayan penggarap lebih kecil, tetapi hasil yang diterima sebenarnya oleh mereka masing-masing adalah lebih besar jika dibandingkan dengan hasil para nelayan penggarap yang mempergunakan kapal/perahu layar.
Berhubung dengan itu di dalam Undang-undang ini bagian yang harus diberikan kepada para nelayan penggarap dan penggarap tambak sebagai yang tercantum di dalam pasal 3, ditetapkan atas dasar imbangan di dalam pembagian beban-beban dan biaya-biaya usaha sebagai yang tercantum dalam pasal 4. Di daerah-daerah dimana pembagian beban-beban dan biaya-biaya itu sudah sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam pasal 4, maka tinggal peraturan tentang pembagian hasil sajalah yang harus disesuaikan, yaitu jika menurut kebiasaan setempat bagian para nelayan penggarap atau penggarap tambak masih kurang dari apa yang ditetapkan dalam pasal 3. Jika bagian mereka sudah lebih besar dari pada yang ditetapkan dalam pasal 3, maka aturan yang lebih menguntungkan fihak nelayan penggarap atau penggarap tambak itulah yang harus dipakai (pasal 5 ayat 1).
Dengan pengaturan yang demikian itu maka ketentuan-ketentuan tentang bagi hasil yang dimuat dalam Undang-undang ini dapat segera dijalankan setelah Undang-undang ini mulai berlaku, dengan tidak menutup sama sekali kemungkinan untuk mengadakan penyesuaian dengan keadaan daerah, jika hal itu memang sungguh-sungguh perlu (pasal 5 ayat 2). Mengenai perikanan darat hanya diberi ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan bagi hasil tambak. yaitu genangan air yang dibuat oleh orang sepanjang pantai untuk memelihara ikan, dengan mendapat pengairan yang teratur. Usaha pemeliharaan ikan di empang-empang air tawar dan lain-lainnya tidak terkena Undang-undang ini oleh karena umumnya tidak dilakukan secara bagi hasil, tetapi dikerjakan sendiri oleh pemiliknya. Kalau ada pemeliharaan yang dilakukan secara bagi hasil maka hal itu mengenai kolam-kolam yang tidak luas. Kalau ada sawah yang dibagi hasilkan dan selain ditanami padi juga diadakan usaha pemeliharaan ikan.
Jika melihat perkembangan koperasi perikanan di Indonesia, harus diakui saat ini menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan. Dalam pengertian bahwa sebagai salah satu pilar penopang perekonomian Indonesia, keberadaan koperasi sangat kuat dan mendapat tempat tersendiri di kalangan pengguna jasanya. Koperasi telah membuktikan bahwa dirinya mampu bertahan di tengah gempuran badai krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.
Keberadaan koperasi semakin diperkuat pula dengan dibentuknya Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang salah satu-tugasnya adalah mengembangkan koperasi menjadi lebih berdaya guna. Koperasi sangat diharapkan dapat menjadi mitra strategis yang sejajar dengan perusahaan-perusahaan dalam pengembangan perekonomian. Koperasi akan sangat dirasakan manfaatnya apabila dibuat semakin kuat berdasarkan pondasi yang kokoh. Analoginya kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan hasil maksimal yang terukur. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi.
Namun demikian, kenyataan membuktikan bahwa koperasi baru manis dikonsep tetapi sangat pahit perjuangannya di lapangan. Tidak bisa tidak, pengembangan koperasi barulah sebatas konsep yang indah, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Semakin banyak koperasi yang tumbuh semakin banyak pula yang tidak aktif. Bahkan ada koperasi yang memiliki badan hukum, namun kehadirannya tidak membawa manfaat sama sekali. Tentu saja hal ini sangat disayangkan.
Koperasi tidak mungkin tumbuh dan berkembang dengan berpegang pada tata kelola yang tradisonal dan tidak berorientasi pada pemuasan keperluan dan keinginan konsumen. Koperasi perlu diarahkan pada prinsip pengelolaan secara modern dan aplikatif terhadap perkembangan zaman yang semakin maju dan tantangan yang semakin global.
Masngudi, H. 1990. Sejarah Perkembangan Koperasi, Badan Penelitian Pengembangan Koperasi. Jakarta
© http://www.angkasa.com Koperasi Mesti Punya Identity. Haji Moh Salleh Lela
© http://www.suarakarya.online Membangun Koperasi Perikanan. Moh Fajri,MP
© UU Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan
© UU Nomor 60 Tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi