Cari Blog Ini

Jumat, 28 Mei 2010

“Definisi Pegawai Negeri Sipil dan dilema gaji mereka”

Ditulis oleh Dr Agus Prabowo
Banyak dari alumni ITB angkatan 1977 yang memilih karier menjadi pegawai negeri. Salah satunya adalah Dr Agus prabowo. Inilah petikan tulisan beliau yang kami ambil dari e-mail di mailing list (milis) angkatan kami yang nampaknya layak untuk di-share :
Public servant, Civil servant dan Government official
Ada beberapa terminologi yang lazim digunakan untuk menterjemahkan Pegawai Negeri Sipil (PNS), tergantung dari tugas dan sifat pekerjaannya. PNS yang langsung melayani masyarakat sehari-hari seperti mengurus KTP, SIM, Paspor dan sebagainya lazim disebut public servant. PNS yang mengurusi hajat hidup penduduk secara umum dan perdata seperti keamanan, perhubungan, kesehatan, pendidikan, pernikahan, pengadilan, dan sebagainya cocoknya disebut civil servant.
Lalu ada PNS yang tidak langsung melayani masyarakat tetapi melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari seperti administrasi negara, urusan kelembagaan, melakukan analisa kebijakan, pembuatan kebijakan dan diplomasi internasional lazim disebut government official. Beberapa kamus standard seperti Webster, Salim, Echols-Sadily menggunakan terminologi- terminologi di atas. Dari pengalaman saya sendiri, baik di dalam maupun di luar negeri, jelas membuktikan bahwa berbagai istilah tersebut lazim dipakai.
Alat negara, aparatur negara, aparat pemerintah, pegawai negeri
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka) bahkan menggunakan beberapa istilah Bahasa Indonesia yang berbeda: alat negara, aparatur negara, aparat pemerintah, pegawai negeri. Repotnya dalam bahasa awam, semua itu berada dalam set terminologi PNS.
Terus terang, saya masih menemui kesulitan untuk mencari terminologi yang pas untuk PNS yang tugasnya “aneh-tapi-nyata” seperti Penjaga Mercu Suar yang harus selalu siaga di ujung pulau, Polisi hutan atau lebih dikenal sebagai Jagawana yang harus menjaga hutan dan satwa yang dilindungi, para Peneliti yang menekuni bakteri atau hama tanaman, dan tentunya masih banyak lagi pegawai negeri yang mempunyai berbagai keahlian di berbagai instansi pemerintah.
Soal mana yang lebih mulia antara government official atau public servant? Mana yang lebih mulia antara aparat pemerintah dan alat negara. Rasanya bekerja sebagai apapun bisa mulia kalau kita berniat memuliakan diri.
Siapa penentu Gaji Pegawai Negeri Sipil ?
Tentang siapa yang menentukan besarnya Gaji PNS? Benarkah PNS digaji oleh rakyat? Pertanyaan-pertanyaan itu valid dan berkualitas tinggi. Penjelasan di bawah ini mudah-mudahan ada manfaatnya, setidaknya agar kita semakin paham soal PNS dengan segala kompleksitasnya.
Gaji Pokok PNS saat ini diatur oleh Peraturan Pemerintah no 66 tahun 2005 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Kemudian pada tanggal 11 Januari 2006 yang lalu Presiden SBY melakukan penyesuaian, maksudnya “menaikkan”, Gaji Pokok tersebut melalui Peraturan Presiden no:1 tahun 2006. Inilah dasar hukum yang paling mutakhir dan masih berlaku sampai
sekarang. Lengkapnya bisa dilihat di Portal Indonesia (www.indonesia.go.id kemudian cari di Produk Hukum).
Gaji tertinggi PNS Rp. 2.070.000 per bulan
Dari situs dan informasi tersebut dapat diketahui angka-angka yang "mendebarkan", antara lain :
• Gaji Pokok PNS terendah adalah Rp 661.300 per-bulan untuk PNS Golongan Ia dengan masa kerja nol tahun. Kelompok ini biasanya diisi oleh pramubakti, pesuruh, sopir, penjaga kantor, tukang kebun, dsb.
• Gaji Pokok PNS tertinggi adalah Rp 2.070.000 per-bulan untuk PNS Golongan IVe dengan masa kerja 32 tahun. Kelompok ini biasanya diisi oleh pejabat Eselon-I seperti Dirjen atau Deputi Menteri.
• Jadi seluruh PNS Gaji Pokoknya berada di rentang Rp 661.300 ~ Rp 2.070.00 itu saja. Sebagai ilustrasi, sarjana S1 dengan masa kerja nol tahun disetarakan dengan PNS Golongan IIIa dengan Gaji Pokok Rp 1.041.200. Setelah dia mengabdi selama 20 tahun, normalnya akan naik pangkat menjadi Golongan IVb dengan Gaji Pokok Rp 1.599.800 saja.
Kemungkinan tambahan pendapatan
Selain Gaji Pokok tersebut, PNS juga berhak menerima penghasilan lain atau tambahan yang sah sesuai dengan jabatan, bidang tugas, serta kebijakan masing-masing instansinya. Tambahan tersebut bisa berupa tunjangan jabatan, tunjangan keahlian, honorarium, maupun bentuk insentif lainnya mulai dari asuransi kesehatan, beasiswa, kendaraan dinas, rumah jabatan/dinas, sopir kantor, dan sebagainya. Juga ada yang ditunjuk menjadi komisaris di BUMN/BUMD tertentu. Ketentuan teknisnya diatur oleh Menteri Keuangan dan/atau Kepala Badan Kepegawaian Negara
Kalau seluruh “penerimaan” itu dijumlah barangkali cukup untuk hidup layak. Namun sekarang masalahnya, berapa banyak PNS yang memiliki 'privilege' (kesempatan) semacam itu?. Saya yakin jumlahnya relatif sangat sedikit. Bagaimana dengan PNS yang tidak memiliki jabatan, berpendidikan rendah, atau tidak punya bidang tugas/keahlian tertentu? Yaa terpaksa pulang dengan Gaji Pokok yang angka-angkanya disebut tadi. Adilkah ini bagi mereka? Rasanya tentu tidak.
Dilema pelayanan masyarakat & komentar Kwik Kian Gie
Celakanya, PNS yang tidak memperoleh tambahan pendapatan apapun sering dijumpai di “front-desk” yang berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat. Bagaimana kita menutup kesenjangan ini ?. Itukah yang menyebabkan mereka cenderung mencari jalan pintas dengan “memalak” masyarakat ?. Mestinya juga sudah tidak, terutama dengan gerakan pemberantasan korupsi, tetapi kenapa masih banyak terjadi?
Kwik Kian Gie, pernah memimpin diskusi soal ini di Bappenas. Komentarnya, mengurus PNS itu dilematis. Di satu sisi tuntutan masyarakat terhadap PNS selalu tinggi, tapi di saat yang sama masyarakat tidak ingin melihat PNS-nya sejahtera. Buktinya, setiap ada wacana kenaikan gaji, pasti saja ada anggota masyarakat yang protes.
Apakah Gaji PNS dibayar oleh rakyat ?
Topik berikutnya, benarkah PNS digaji oleh rakyat dari pajak-pajak yang dipungut oleh pemerintah? Teorinya memang begitu. Tapi tunggu sebentar, ada indikatornya. Mari kita check dulu yang namanya “Tax-ratio”, persisnya adalah “Tax-to-GDP Ratio”, yaitu rasio dari total penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto berdasarkan harga pasar. Semakin tinggi
“tax-ratio” suatu negara maka semakin besar pula kewajiban pemerintah untuk membiayai kepentingan publiknya, termasuk menjamin kesejahteraan PNS-nya.
Ekstrimnya, kalau “tax-ratio” sudah 100% maka segala jenis pelayanan publik harus gratis, dan seluruh PNS (khususnya yang public-servant) wajib melayani masyarakat dengan gesit dan penuh senyuman karena dia sudah digaji oleh rakyatnya. Jadi, urusan KTP, SIM, Paspor, Sekolah Negeri, Rumah Sakit Pemerintah, Transportasi Publik, Museum, Planetarium, semuanya Gratis.
Dewasa ini (data tahun 2005) tax-ratio kita hanya 11,9%. Kalau dirinci lagi, hanya 5,6% yang berasal dari Pajak Penghasilan, termasuk dari PNS yang juga membayar pajak itu. Sisanya 3,9% dari VAT (Pajak Pertambahan Nilai) yang dibebankan kepada seluruh konsumen, dan 2,4% dari pajak lainnya berasal dari pajak-pajak korporasi dan lain-lain. Jadi, PDB kita sampai sekarang masih didominasi oleh penerimaan Non-pajak, terutama dari penerimaan migas dan non-migas seperti laba BUMN/asset negara, ekspor sumber daya alam, dan juga dari tambalan hutang luar negeri.
Walaupun secara nasional tax-ratio kita sangat kecil, tapi sudah banyak Pemerintah Daerah yang memberi layanan publik dengan cuma-cuma, seperti layaknya di negara dengan tax-ratio yang sudah besar. Lihat saja di Aceh, DKI Jakarta, Bali, Riau, Kalimantan Timur, Papua, dsb. Mereka soda mulai menerapkan pendidikan gratis, pengobatan gratis, urusan administrasi kependudukan gratis, dst. Bukankah ini prestasi yang lumayan ? Pernahkan kita menyadarinya sebagai sebuah terobosan ?
Apakah itu semua berasal Pajak ? Yaaa ada-lah, tapi masih sedikit. Mudah-mudahan, melalui catatan ini kita semua semakin sabar menghadapi kelakuan PNS yang menyebalkan, tidak perlu cepat marah, apalagi sambil mengeluarkan kata-kata: "Heee, gajimu tuh aku yang bayar tau'.... hayo kerja yang becus sana!"
Nanti suatu saat, kalau kita sudah seperti Swedia yang tax-rationya 50,7%, atau Denmark yang 49,6%, atau Belgia yang 45,6%, bolehlah mereka kita tegur lebih keras. Orang Amerika juga tidak boleh terlalu sombong karena tax-rationya masih 25,4%!
Terima kasih atas kesabarannya membaca, dan mohon maaf kalau ada yang tidak berkenan.
Tentang penulis (redaksi)
Agus Prabowo adalah alumni Jurusan Arsitektur. Ia akrab dipanggil dengan panggilan Uwo. Uwo menikah dengan Herwina Sujono atau Wina, teman seangkatannya di Jurusan arsitektur juga.
Uwo adalah Direktur Lingkungan Hidup di Bappenas - Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Wina sendiri menjadi Grants officer di NGO Hivos Foundation. Uwo dan Wina tinggal di Pondok Labu, Cilandak.
Pada saat-saat senggangnya, Uwo masih menyempatkan diri untuk melukis. Beberapa lukisan Uwo bertemakan Lingkungan hidup.

2 komentar:

  1. PNS adalah Abdi negara..tugasnya ya mengabdi untuk kejayaan negeri tercinta melayani rakyat indonesia ini tidak lebih dan kurang..nominal gaji seharusnya bukan masalah toh orang berbondong bondong daftar jadi pns sampai sogok-menyogok alasanya PNS masa depanya terjamin mau dinaikan 100 bahkan 1000% gaji pns buat saya bukan masalah asal negara mampu cuma Dg gaji sebesar itu tanggug jawab moral kepada rakyak diamana..sudahkah kita bekerja dg baik dan melayani rakyat dg pelayanan prima....menurut saya jadi PNS adalah sebuah bentuk pengabdian kepada negara bukan sarana menjadi kaya...logikanya PNS tidak kaya lumrah..karena gajinya ya hanya diatas cukup saja...jika kepengen kaya JADI PENGUSAHA SAJA...............

    BalasHapus
  2. terima kasih atas ini saya sangat suka dan ini benar benar menarik saya akan datang lagi velg rossi

    BalasHapus