Menerkam hawa dingin Gunung Rinjani merupakan pengalaman tak terlupakan. Menyusuri 9 bukit penderitaan adalah tantangan yang melelahkan. Konyol jika salah melangkah, maka jurang di depan bakal menunggu kita. Kendati demikian, beban berat, letih, dan ngantuk seolah sirna begitu sampai di Danau Segara Anak. Acara mancing pun dimulai!
Jika mas-mas dan mbak-mbak melewati 9 bukit penderitaan, sebaiknya persiapkan mental yang kuat.
Gunung Rinjani memiliki ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, mendominasi sebagian besar luas Pulau Lombok di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Terletak di sebelah timur Pulau Bali, dapat ditempuh dengan bus langsung Jakarta-Mataram dengan menyeberang menggunakan feri dua kali (Selat Bali dan Selat Lombok). Dapat juga ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang dari Bandara Ngurah Rai, Bali.
Gunung Rinjani adalah gunung merapi tertinggi kedua di Indonesia di luar pegunungan Irian Jaya. Gunung Rinjani masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, dengan luas taman sekitar 40.000 hektar. Dikelilingi oleh hutan dan semak belukar seluas 76.000 hektar.
Gunung Rinjani memiliki kawah dengan lebar sekitar 10 kilometer, terdapat danau kawah yang disebut Danau Segara Anak dengan kedalaman sekitar 230 meter. Air yang mengalir dari danau ini membentuk air terjun yang sangat indah, mengalir melewati jurang yang curam. Danau Segara Anak ini banyak terdapat ikan sehingga sering digunakan untuk memancing. Dengan warna airnya yang membiru, danau ini bagaikan anak lautan, karena itulah disebut "Segara Anak".
Memasuki musim kemarau, udara dingin di Gunung Rinjani mulai merambati tim petualang. Saat itu tim saya berjumlah 9 orang; dua wanita dan tujuh pria. Satu di antaranya mahasiswa Universitas Mataram yang bertugas sebagai guide. Ada Siswa, Joko, Erik, Hera, Rokib, Aden, Arman, Wawan, dan saya.
Perjalanan dimulai dari pos pertama. Setelah turun dari mobil, tim disambut oleh pemandangan alam pegunungan yang indah. Memasuki Desa Sembalun cuaca makin kentara dinginnya. Selain Sembalun Lawang, ada satu jalur pendakian, yakni Desa Senaru yang terletak di wilayah Lombok Barat. Jaraknya 80 km dari Kota Mataram, berada di sebelah utara lereng Rinjani.
Penduduk Desa Sembalun terlihat ramah. Rata-rata mata pencarian mereka adalah bercocok tanam. Hasilnya dijual ke pasar. Kebanyakan dari mereka bercocok tanam sayur-sayuran seperti kol, cabai, bawang, juga kentang.
Ketika hari mulai senja, mereka buru-buru pulang. Maklum di desa sangat jarang penerangan. Kalau keluar rumah, penduduk hanya menggunakan penerangan senter atau oblik. Itu pun kalau mereka bersedia disapu hawa dingin pegunungan yang menggigil.
Kami sempat kemalaman. Jadi, terpaksa harus menginap di pos penjagaan. Sementara perjalanan diteruskan keesokan hari.
Esoknya, tepat pukul 07.00, tim mulai melakukan packing. Pengecekan logistik, tenda, dan pakaian harus dilakukan ulang. Mengingat gunung yang hendak kami daki bukan sembarang gunung. Belum lagi tim petualang tidak mengenal medan. Wajar jika kami harus menyiapkan peralatan yang memadai.
Pada saat mentari muncul dari balik perbukitan, perjalanan tim petualang Aji dimulai. Sembilan orang berangkat bersamaan. Awalnya kami melalui perkebunan dan persawahan. Jalur yang kami lewati masih datar-datar saja. Untuk memasuki pos kedua dibutuhkan waktu 3-4 jam.
Antara pos dua dan tiga jaraknya dibutuhkan waktu 1,5-2 jam. Dari sini medan pendakian makin curam, hampir 90 derajat. Kalau tidak berhati-hati, bisa jadi gulung kuming dan masuk jurang.
Begitu sampai di pos ketiga, tim beristirahat sejenak. Makan-makan, nyemil, tidur dan shalat bagi yang Muslim. Pemandangan di pos ketiga tak begitu mengasyikkan. Banyak ranting dan pohon tumbang, sedangkan belakangnya terdapat jurang yang curam.
Makanan dicolong kera
Akibat meremehkan 9 bukit penderitaan, banyak teman-teman yang pingsan di tengah jalan. Mereka yang tak kuat merengek minta pulang.
Istilah 9 bukit penderitaan atau penyesalan ini baru kali pertama kami dengar. Sebelumnya seorang teman dari Universitas Mataram berpesan demikian, "Jika mas-mas dan mbak-mbak melewati 9 bukit penderitaan, sebaiknya persiapkan mental yang kuat. Sebab, tidak sedikit para pendaki yang drop dan balik kucing. Beruntung bagi mereka yang pulang. Sial bagi mereka yang pingsan di tengah jalan, stres, atau hilang."
Semula kata-kata mereka tak kami gubris. Pikir kami, ah, biar 9 bukit penderitaan atau 20 bukit penderitaan sama saja. Yang penting kami tidak melakukan gangguan terhadap lingkungan, maka kami jamin semua beres.
Sembilan bukit penderitaan ini terletak di atas pos ketiga. Saat itu kami memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Mungkin karena hari masih terang, jadi tak ada salahnya diteruskan.
Rupanya pendakian di gunung tertinggi kedua se-Indonesia itu cukup menguras tenaga dan pikiran. Tantangan yang sesungguhnya menghadang.
Keluar masuk hutan merupakan makanan kami. Hutan di Gunung Rinjani termasuk hutan jenis heterogen dan homogen pada daerah daerah tertentu. Pada ketinggian 1.000-2.000 meter di atas permukaan laut dapat ditemui jenis tumbuh-tumbuhan seperti beringin (Ficus superb), garu (Dysoxylum sp), bayur, dan perkebunan penduduk yang ditanami sayur-sayuran. Pada ketinggian 2.000-3.000 meter di atas permukaan laut, vegetasi yang dominan adalah cemara gunung (Casuarina junghuniana). Pada ketinggian 3.000 meter di atas permukaan laut ke atas hanya terdapat jenis rumput-rumputan dan bunga abadi (edelweiss).
Beban ransel seberat 30 kilogram yang mengganduli punggung mulai terasa sampai ke sendi-sendi. Belum lagi kami harus naik turun lereng terjal. Kaki terasa ngilu dan sakit untuk diajak berjalan cepat. Langkah-langkah kaki kami begitu pelan dan bertahap. Gunung Rinjani ini benar-benar sulit ditaklukkan.
Benar kata teman-teman dari Universitas Mataram. Ketika memasuki 9 bukit penderitaan, tubuh kami bagai dihantam martil. Tidak sedikit teman-teman yang mengaku kesulitan menaklukkan bukit tersebut.
Wajah mereka menunjukkan keletihan dan ketegangan. Bahkan ada yang pingsan. Udara dingin yang turun membuat mata mengantuk. Dua perempuan dari tim petualang sempat stres. Mereka merengek minta pulang. Setelah diberi penjelasan, mereka akhirnya pasrah dan meneruskan perjalanan.
Beberapa kali kami sempat berhenti untuk mengatur napas, kemudian dilanjutkan kembali. Jujur, medan gunung Rinjani–sembilan bukit penderitaan–sangat jarang kami temui.
Dari kejauhan kami melihat sebuah bukit yang tingginya hampir 90 derajat. Semula kami mengira jika sampai di atas, maka kami akan sampai di pos keempat, yakni Pelawangan Sembalun. Nyatanya begitu berhasil melintasi bukit pertama, di depannya sudah menanti bukit kedua, ketiga, dan seterusnya hingga sembilan bukit. Konyol, jika kami salah melangkah, jurang bakal menanti di depan.
Kalau boleh menilai, jalur Gunung Rinjani hampir semua ada di gunung-gunung Jawa Timur dan Jawa Tengah. Curam dan terjal. Dari mulai Gunung Semeru, Gunung Arjuno-Welirang, Gunung Penanggungan, Gunung Lawu, Gunung Merapi-Merbabu, dan Gunung Slamet-Sindoro-Sumbing.
Kendati demikian, kami bukan tim pecundang. Perjalanan masih panjang. Pemandangan alam Gunung Rinjani membuat semangat kami berkobar. Sembilan bukit penderitaan adalah titik awal menuju puncak.
Setelah 5 jam berjalan, akhirnya kami sampai di Pelawangan Sembalun, pos terakhir sebelum menuju puncak. Di sini kami bisa melihat Danau Segara Anak yang berwarna kebiru-biruan. Indah dipandang mata.
Cuma yang menyesalkan, sesampai di Pelawangan Sembalun kami disambut ratusan primata liar berekor panjang. Mereka datang bergerombol seperti hendak mengeroyok.
Kera-kera ini suka mengganggu kemah para pendaki. Mereka pandai membuka tenda dan mengambil makanan. Di saat lengah, seekor kera mendekat dan mencuri logistik. Kemudian ia lari ke bibir jurang bersama lainnya. Di sana ia berpesta bersama teman-temannya.
Malamnya kami bertemu dengan penduduk yang turun dari puncak seusai melakukan ritual. Mereka berbondong membawa obor. Mereka berpesan supaya kami berhati-hati membawa logistik. Sebab, primata itu sewaktu-waktu bisa mencuri makanan kami. Dulu, kata penduduk, kera-kera tersebut masih alami. Tapi setelah kedatangan pendaki bule, kera-kera ini jadi manja. Mereka sering diberi makanan keju, roti, kornet, mie instan, dan sebagainya. Maka, salahkan bule jika kera-kera itu jadi pencuri ulung.
Mancing ikan dan kungkum air panas
Hari itu kami istirahat total karena besok masih harus meneruskan perjalanan ke puncak. Tepat pukul 03.00, perjalanan diteruskan. Bedanya kali ini kami harus meninggalkan barang bawaan, kecuali membawa back packing berisi makanan secukupnya.
Butuh waktu 4 jam menuju puncak. Hanya saja kami sempat kewalahan menaklukkan jalur berkerikil dan berpasir. Kami pun mencapai puncak sebelum sunrise. Dari atas pemandangan kepulauan Lombok sangat indah. Bibir-bibir pantai yang melengkung terlihat sangat jelas. Pun Danau Segara Anak.
Konon, menurut penduduk, puncak Gunung Rinjani diyakini masyarakat Lombok sebagai tempat bersemayam ratu jin, penguasa Gunung Rinjani yang bernama Dewi Anjani. Dari puncak ke arah tenggara terdapat sebuah kaldera lautan debu yang dinamakan Segara Muncar.
Pada saat-saat tertentu dengan kasatmata dapat terlihat istana Ratu Jin. Pengikutnya adalah golongan jin yang baik-baik. Menurut kisah masyarakat Lombok, Dewi Anjani adalah seorang putri raja yang tidak diizinkan oleh ayahnya menikah dengan kekasih pilihannya. Maka, ia pun menghilang di sebuah mata air yang bernama Mandala dan akhirnya menjadi penguasa dunia gaib.
Percaya atau tidak, toh puncak Rinjani sampai kini diyakini sebagai tempat yang wingit. Namun, kedatangan kami bukan untuk mengganggu penunggu Rinjani. Kami datang dengan damai sambil mengibarkan bendera Merah Putih berkibar di puncak Rinjani berikut almamater kebanggaan. Ini adalah momen tak terlupakan. Kami pun mengabadikannya lewat kamera poket.
Satu jam di puncak membuat tubuh menggigil disapu angin. Kami turun dan memutuskan untuk ke danau. Sekali lagi, perjalanan ke Danau Segara Anak kami tempuh dengan super hati-hati. Selain terjal juga berbatu-batu. Kalau perlu merambat dan merangkak untuk sampai ke bawah. Kadang harus berpegangan pada akar-akar yang menjuntai di bibir tebing agar tak terjatuh. Terus terang kami hanya geleng kepala melihat rute yang curam. Semoga saja tak memakan korban jiwa.
Sesampai di danau, tak ada yang bisa mewakili kegembiraan tim. Seketika rasa letih sehabis memanggul beban berat tiba-tiba sirna.
Warna air kebiru-biruan Danau Segara Anak telah menyejukkan kami. Inilah salah satu keeksotisan Gunung Rinjani, yakni Danau Segara Anak yang terbentuk secara vulkanik akibat letusan Gunung Rinjani. Danau ini terletak di ketinggian 2.800 meter di atas permukaan laut, kaya akan flora fauna.
Kekayaan danau ini sering dieksploitasi oleh penduduk setempat dengan mengambil ikan-ikannya. Namun, satu yang perlu dicatat disini adalah adanya kearifan lokal penduduk setempat sehingga eksploitasi tidak sampai menimbulkan kerusakan lingkungan. Ikan-ikan yang banyak terdapat di danau ini adalah ikan mas, mujair, dan ikan harper. Pada Februari 2005, tim pendaki dari Astacala berhasil menombak ikan mas seberat 3,5 kg.
Danau Segara Anak dipercaya masyarakat sekitar mempunyai tuah yang dapat menyembuhkan penyakit, juga untuk pemujaan mendapatkan benda-benda yang sakti.
Di dekat Danau Segara Anak terdapat gunung kecil yang disebut Gunung Baru. Jarang orang yang bisa ke puncak Gunung Baru tersebut walaupun menurut informasi sudah ada jalur menuju ke sana. Bisa jadi hal ini disebabkan Gunung Baru tersebut masih aktif dan mengeluarkan gas.
Seorang pendaki menyempatkan diri memancing. Ikan di danau sangat besar seukuran paha orang dewasa. Kebanyakan ikan harper. Konon, ikan ini dulunya ditanam oleh Presiden Soeharto.
Seorang pendaki malah langsung menceburkan diri ke air. Kendati kadar air bercampur belerang, tak membuat pendaki risi.
Kebahagiaan tim tidak berhenti sampai di situ. Usai membakar ikan di depan tenda, malamnya kami diajak ke pemandian air panas. Letaknya tak jauh dari danau. Pemandian tersebut memiliki 2-3 pancuran. Airnya bersumber dari atas gunung. Seperti pemandian air panas di Pacet, Jawa Timur, di sini juga mengandung belerang. Cocok bagi Anda yang memiliki masalah dengan kulit. Soal jerawat, panu, dan kadas, kami jamin pasti hilang.
Cukup lama kami berendam sampai-sampai lupa kalau hari sudah larut. Tak lama kami memutuskan kembali ke tenda karena esoknya harus kembali meneruskan perjalanan pulang. Kami mengambil rute Senaru. Sempat pula tim kehabisan air selama perjalanan turun. Tetapi alhamdulillah, tim saya berhasil turun gunung tanpa cacat sedikit pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar